MAHALNYA MENCARI KEADILAN
MAHALNYA MENCARI KEADILAN
INI MASALAH KEPERCAYAAN RAKYAT JEPANG YANG BESAR KEPADA APARAT HUKUMNYA KARENA TIDAK ADA JUAL BELI HUKUM SEPERTI YANG TERJADI DI INDONESIA
BUDAYA SUATU BANGSA SANGAT PENTING KARENA AKAN MENJADI PEDOMAN DALAM HIDUP BERNEGARA.
SAYA terperangah dan takjub ketika pada Bulan Februari tahun 2018, ketika seorang advokat dari Tokyo Jepang, menjawab pertanyaan saya sambil terheran-heran. Saat itu saya bersama Dr. Indra Sani diundang makan siang oleh Vice President Japan Lawyer Assosition (JLA) di salah satu restoran di KLCC Malaysia. JLA adalah sebuah komunitas (Hukum) pebisnis untuk kawasan ASEAN yang berkedudukan di Kuala Lumpur Malaysia. Mungkin karena saya dan sahabat saya ini, berprofesi sebagai Advokat, pihak tuan rumah datang bersama seorang Guru Besar dari Jepang Prof. Matsuno Sakai, beliau adalah salah satu Pengajar Ilmu Hukum di Universitas terkemuka di Jepang
Dengan maksud mengobrol masalah yang ringan-ringan saja, saya bertanya kepada Profesor tersebut,:
“Seberapa banyak kasus penyuapan terhadap hakim yang terjadi di Jepang?” Prof. Matsuno terperanjat dan tampak heran atas pertanyaan itu. Dia mengatakan, sepanjang kariernya dia sebagai Guru Besar tidak pernah mendengar ada hakim dicurigai menerima suap di Jepang. “Terpikir pun tidak pernah.”
Di Jepang, kata Prof. Matauno masyarakat percaya bahwa hakim tidak mau disuap. Di sana hakim sangat dihormati dan dimuliakan karena integritasnya. “Apakah Anda percaya pada semua putusan hakim yang juga mengalahkan Anda dalam menangani perkara?” tanya saya. Prof. Matsuno menjawab, semua putusan hakim diterima dan dipercaya sebagai putusan yang dikeluarkan sesuai dengan kebenaran posisi hukum yang diyakini oleh hakim.
“Di sini tidak pernah ada kecurigaan hakim disuap. Seumpama pun kami kalah dan tidak sependapat dengan putusan hakim, paling jauh kami hanya mengira hakim kurang menguasai dalam satu kasus yang spesifik dan rumit atau kamilah yang kurang bisa meyakinkan hakim dalam berargumen dan mengajukan bukti di pengadilan. Tak pernah terpikir, hakim kok memutus karena disuap,” tambah Prof. Matauno
Ketika Prof. Matsuno mau bertanya balik tentang Indonesia, saya segera membelokkan pembicaraan. Saya bilang restoran tempat kita lunch sangat indah dikelilingi oleh kebun bunga yang memancing selera makan, termasuk bunga Angrek dan pohon-pohon yang seperti dibonsai dengan begitu harmonis. Lalu saya mengajak berfoto.
Saya lihat teman Saya segera mengangkat kamera HP nya dan mengomando kami agar ambil posisi untuk foto bersama. Pembelokan pokok pembicaraan pun berhasil digiring oleh Sahabat saya ini.
Sengaja saya belokkan pembicaraan tentang “penyuapan hakim” itu karena saya takut ditanya balik dan harus bercerita jujur tentang hukum, hakim, pengacara, dan penegakan hukum di Indonesia. Tak mungkin bisa keluar dari mulut saya cerita tentang betapa “kurang bagusnya” penegakan hukum di Indonesia. Apalagi saat itu saya baru berusaha meyakinkan pimpinan JLA bahwa aturan hukum di Indonesia sangat kondusif untuk berinvestasi.
Saya memang berbicara, aturan hukum (legal substance) di Indonesia sudah cukup bagus untuk investasi. Tetapi saya tidak berani berbicara penegakan hukum oleh aparat (legal structure) dan budaya hukum (legal culture).
Bisa malu kalau saya harus berbicara keadaan Indonesia tentang itu. Bayangkanlah, saya harus bercerita, hakim-hakim di Indonesia bukan hanya dicurigai tetapi benar-benar banyak yang digelandang ke penjara karena penyuapan.
Saya akan malu juga, misalnya, kalau harus bercerita bahwa di Indonesia banyak pengacara tersandung kasus karena menyuap atau berusaha menyuap hakim. Tak mungkin saya bercerita bahwa banyak pengacara di Indonesia yang tidak mengandalkan kompetensi dalam profesi hukum, tetapi hanya melatih dirinya untuk melobi aparat penegak hukum atau menggunakan posisi politik agar perkaranya dimenangkan dengan imbalan uang.
Begitu juga takkan bisa keluar jawaban dari mulut saya kalau ditanya apakah di Indonesia ada jaksa atau polisi yang dihukum karena penyuapan dan rekayasa perkara? Akan malu jika menjawab itu dengan jujur tetapi akan berdosa jika saya menjawab dengan berbohong. Kita memang mempunyai budaya sendiri sebagai bangsa, tetapi tidak salahkah kalau dalam soal berhukum kita meniru Jepang.
Jepang adalah anggota Kelompok Negara modern dan salah satu dari tujuh negara termaju di dunia. Budaya hukumnya sangat indah, peraturan simpel dan sederhana apa pun ditaati. Inilah rasanya yang lebih pas menjadi budaya Pancasila.
“Butuh Berapa puluh tahun lagi kita bisa berhukum seperti itu?
Oleh:
Dr. (C) H. Arif Wahyudi, SH, MH, CBL, CTL, C.Me
Saat ini tengah menempuh S3 di UNTAG Semarang.
Profil:
• Founder AW Indonesia Law Firm
• Certified Internasional Trainer
• Direktur Lembaga Pendidikan Hukum & Mediasi Indonesia (LPH-MI)
• Mediator (Akreditasi Mahkamah Agung)
• Inhouse Consultant beberapa Perusahaan & Inhouse Lawyer.