BERITA TERBARUHUKUM

Tukar Guling Perum Perhutani Lumajang Bikin Warga Menjerit

“Jelang Perayaan HUT Kemerdekaan RI, Warga Desa Burno ‘Merasa’ Hidup Dalam Penjajahan”

Bintangempat.com, Jawa Timur – Ratusan kepala keluarga (KK) menolak keras adanya rencana tukar guling rumah dan kebun yang hampir satu abad ditempati dan dikelola oleh warga dusun Karang Anyar, Desa Burno, Kecamatan Senduro, Selasa (14/7/2020).

Rencana penggusuran ini disebabkan adanya rencana wisata alam Siti Sundari, Desa Burno Kecamatan Senduro, Kabupaten Lumajang, diakui oleh warga setempat rumah dan lahan yang mereka tempati sudah turun temurun, dan warga juga sudah komitment atas wejangan nenek moyangnya yang tidak bakal menjual rumah dan lahan garap mereka.

“Menurut orang tua dan kakek nenek kami, rumah ini boleh ditempati tapi tidak boleh dijual, karena para leluhur kami sudah berjuang menempati rumah dan lahan ini sejak tahun 1940 an”, ujar Prayit (70) warga Dusun Karang Anyar, yang menolak rumah dan tanahnya akan ditukar guling, oleh Perum Perhutani.

Hal senada juga disampaikan oleh Sunaryo (60), pihaknya bersama warga yang lain siap melawan untuk mempertahankan warisan yang sebelumnya telah menjadi perjuangan para leluhurnya.

“Kami dapat uang dari mana kok tiba-tiba sama pihak perhutani, warga Dusun Karang Anyar, Desa Burno ini disuruh bayar per meternya Rp 35 ribu, dan kalau tidak bisa membayar kami akan ditukar guling di daerah Desa Oro-oro Ombo, Kecamatan Pronojiwo, pokoknya kami tetap akan disini, karena kami lahir, tua, dan mati ditempat kami ini”, tegasnya.

Rencana tukar guling dari perum perhutani atas rumah dan lahan warga Dusun Karanganyar ini, dimungkinkan Adanya rencana pembangunan kawasan wisata Siti Sundari, nampak disepanjang jalan menuju ke pemukiman warga Dusun Karang Anyar dari arah Ranu Pane, sudah dibangun lapak-lapak dikawasan hutan, bahkan perbukitan disekitarnya juga terlihat aktifitas pekerja dengan suara raungan gergaji mesin membuka jalan-jalan untuk medan offroader, dari total 208 KK yang hidup di Dusun Karanganyar, 130 KK yang berani menolak atas rencana perum perhutani meminta Warga untuk membayar Rp 35 ribu per meter persegi, sisa 78 KK takut jika rumahnya digusur oleh Perum Perhutani.

“Kalau rumah dan kebun kami setengah hektar, kami dapat uang dari mana Rp 175 juta kalau Permeternya disuruh bayar Rp 35 ribu, pada dasarnya seluruh warga Karanganyar menolak keras penjajahan ini, wong kami setiap tahunnya juga bayar pajak”, Keluh Pak Rika warga setempat.

Sedang menurut Yus Yaser Waka/KSKPH Perum Perhutani pihaknya menegaskan tidak tahu menahu soal harga satuan tanah kawasan hutan yang ditempati warga, namun dirinya mengatakan itu sudah menjadi aturan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, (LHK).

“Untuk satuan ganti rugi, kami tidak tahu, itu sudah menjadi aturan Kementrian LHK”, tegasnya.

Foto: Dummy Hidayat

Sementara menurut pakar hukum Lumajang Dummy Hidayat SH., Rabu (15/7/2020), perum perhutani, pemerintah daerah, maupun pemerintah pusat tidak bisa semena-mena memeras dan menindas rakyat semaunya sendiri, ada aturan main dan mekanisme yang harus dilalui, semisal dalam Pasal 24 ayat (2) Peraturan Pemerintah (PP)  No. 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah menegaskan seseorang yang menguasai fisik tanah selama kurun waktu 20 (dua puluh) tahun secara terus-menerus dapat mendaftarkan diri sebagai pemegang hak atas tanah tersebut. Pasal tersebut berbunyi:

Dalam hal tidak atau tidak lagi tersedia secara lengkap alat-alat pembuktian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pembukuan hak dapat dilakukan berdasarkan kenyataan penguasaan fisik bidang tanah yang bersangkutan selama 20 (dua puluh) tahun atau lebih secara berturut-turut oleh pemohon pendaftaran dan pendahulu-pendahulunya, dengan syarat: (1) Penguasaan tersebut dilakukan dengan itikad baik dan secara terbuka oleh yang bersangkutan sebagai yang berhak atas tanah, serta diperkuat oleh kesaksian orang yang dapat dipercaya; (2) Penguasaan tersebut baik sebelum maupun selama pengumuman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 tidak dipermasalahkan oleh masyarakat hukum adat atau desa/kelurahan yang bersangkutan ataupun pihak lainnya.

“Apalagi masyarakat desa Burno sudah menempati sebelum kemerdekaan RI, ditambah lagi ada janji politik presiden untuk reforma agraria yaitu salah satunya para pegiat atau aktivis menagih dan mendesak agar pemerintah secepatnya mengesahkan Peraturan Presiden tentang Reforma Agraria”,  pungkasnya. (Bass).