Tuhan Otsus dan Pembangunan Indonsia di Papua Sudah Mati
Press Release
Dewan Gereja Papua (WPCC)
‘Tuhan Otsus dan Pembangunan Indonsia di Papua sudah Mati’
Pada 5 Juli 2020 para Pimpinan Gereja yang tergabung dalam Dewan Gereja Papua (WPCC) mengeluarkan Refleksi Tahunan berjudul ‘Tuhan Otsus dan Pembangunan Indonsia di Papua sudah Mati’.
Dan kami mengamati sepak terjang Jakarta belakangan ini, secara sepihak merancang OTSUS Papua Jilid II dengan menghindar dari tekanan publik terkait RASISME di Asrama Mahasiswa Surabaya dan gemanya di Papua yang telah mulai menimbulkan dinamika di akar rumput, kita perlu ingat bahwa arah dan kerangka pembangunan Negara Indonesia di Papua memang sejak awal dijiwai superioritas etnis.
Keberadaan Negara Indonesia sejak tahun 1963 disemangati dengan diskriminasi RASIAL sehingga pada tahun 1998 jatuhnya rezim otoriter Suharto sebagai presiden Republik Indonesia menjadi kesempatan baik dan angin segar untuk kebangkitan bagi seluruh rakyat Papua dan pada kesempatan itu menuntut hak politik untuk merdeka dan keluar dari Negara Republik Indonesia.
Tuntutan seluruh rakyat Papua untuk merdeka keluar dari Negara Indonesia, pemerintah Indonesia menghadapi dengan kekerasan militer dan polisi yang menyebabkan korban jiwa dipihak rakyat Papua.
Tuntutan seluruh Penduduk Orang Asli Papua untuk merdeka karena ada latar belakang sejarah ketidakadilan, rasisme dan kejahatan negara dalam pelaksanaan Pepera 1969.
Dewan Gereja Papua mempelajari dengan teliti dan cermat dokumen hasil pelaksanaan Pepera 1969 Annex 1 yang dilaporkan perwakilan PBB, Dr. Fernando Ortiz Sanz dari Bolivia dan Annex II laporan dalam versi pemerintah Indonesia sangat bertolak belakang dengan laporan Annex 1.
Pemerintah Indonesia mempromosikan kata “KESEJAHTERAAN” kepada Orang Asli Papua, kata itu bukan merupakan ungkapan baru, tetapi kata itu hanya sebagai pengulangan saja dari apa yang sudah pernah disampaikan Menteri Dalam Negeri RI Amir Machmud pada pelaksanaan Pepera 14 Juli 1969 di Merauke dihadapan peserta Anggota Musyawarah Pepera. “…pemerintah Indonesia, berkeinginan dan mampu melindungi untuk KESEJAHTERAAN rakyat Irian Barat, oleh karena itu, tidak ada pilihan lain, tetapi tinggal dengan Indonesia.”
Tetapi, Dewan Gereja Papua melihat realitas dalam perjalanan 51 tahun sejak 1969 sampai 2020 sangat paradoks dengan kata-kata indah itu berubah menjadi tragedi kemanusiaan dan malapetaka, penderitaan, tetesan air mata, cucuran darah berkepanjangan dan tulang belulang yang berserakkan yang dialami rakyat Papua di atas Tanah mereka sendiri.
Jadi, untuk menghentikan kekerasan Negara yang menggunakan kekuatan militer dan polisi Indonesia yang menahun (kronis) itu, maka jalan penyelesaian damai dan bermartabat yang disepakati kedua belah pihak: pemerintah Indonesia dan rakyat Papua ialah Otonomi Khusus No. 21 Tahun 2001.
Otonomi Khusus 2001 memuat pasal-pasal yang menjadi jaminan dan harapan bagi rakyat Papua. Janji dan kesepakatan yang tertuang dalam amanat undang-undang Negara Indonesia sebagai berikut:
Perlindungan (protection), pengakuan hak-hak dasar Orang Asli Papua (recognition), pemberdayaan (empowering), dan keberpihakan (affirmative), telah gagal dan itu sungguh-sungguh melahirkan kekecewaan dan kegelisahan yang mendalam bagi Penduduk Orang Asli Papua. Dalam Otonomi Khusus banyak OAP yang terbunuh di tangan aparat keamanan TNI-Polri dan pelakunya belum pernah diproses hukum untuk keadilan bagi keluarga korban . Partai lokal tidak dibentuk. Bendera Bintang Kejora dilarang berkibar. Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) gagal dilaksanakan.
RASISME dan KETIDAKADIKAN bertumbuh dan berurat akar dalam era Otonomi Khusus. Terbukti peristiwa RASISME yang terjadi pada 15-17 Agustus 2019 di Semarang, Malang dan Jogyakarta yang dilakukan oleh organisasi massa radikal seperti: Front Pembela Islam (FPI), Pemuda Pancasila (PP), anggota TNI dan Forum Komunikasi Putra Putri Purnawirawan TNI (FKPP).
Akar masalah Papua sebagai dasar tuntutan rakyat Papua telah ditemukan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan selanjutkan diberikan kepada Negara Indonesia untuk diselesaikannya. (1) Sejarah dan status politik integrasi Papua ke Indonesia; (2) Kekerasan Negara dan pelanggaran berat HAM sejak 1965 yang belum ada penyelesaian; (3) Diskriminasi dan marjinalisasi orang asli Papua di Tanah sendiri; (4) Kegagalan pembangunan meliputi pendidikan, kesehatan, dan ekonomi rakyat Papua.
Dari empat akar masalah yang dirumuskan tadi, Dewan Gereja Papua melihat bahwa semuanya itu bersumber dari RASISME dan KETIDAKADILAN.
Jantung persoalan Papua adalah RASISME dan KETIDAKADILAN yang melahirkan 4 pokok masalah yang ditemukan LIPI. Rasisme dan ketidakadilan terbukti dengan GAM di Aceh dijadikan mitra dialog dengan Negara Indonesia yang dimediasi pihak ketiga di tempat netral di Helsinki Firlandia pada 15 Agustus 2005. Partai lokal Aceh didirikan dan Bendera GAM dikibarkan.
Melihat dari kompleksitas persoalan kemanusiaan ini, Dewan Gereja Papua meminta Negara Republik Indonesia segera menyelesaikan 5 akar persoalan. Untuk itu Dewan Gereja Papua kembali menegaskan Surat Pastoral kami tertanggal 26 Agustus 2019 dan 13 September 2019 sebagai berikut:
- Kami meminta keadilan dari pemerintah Republik Indonesia untuk menyelesaikan persoalan Papua yang sudah ditunjukkan oleh Indonesia untuk GAM di Aceh. Wakil Presiden Yusuf Kalla berperan secara aktif mendukung dialog dengan GAM yang dimediasi Internasional. Oleh karena itu, kami menuntut bahwa pemerintah Indonesia berdialog dengan ULMWP yang dimediasi pihak ketiga yang netral. (Isi Surat tertanggal, 26 Agustus 2019)
- Mendesak Pemerintah Indonesia segera membuka diri berunding dengan ULMWP sebagaimana Pemerintah Indonesia telah menjadikan GAM di ACEH sebagai Mitra Perundingan yang dimediasi pihak ketiga; sebagai satu-satunya solusi terbaik untuk menghadirkan perdamaian permanen di Tanah Papua, sesuai dengan seruan Gembala yang pada 26 Agustus 2019 yang telah dibacakan dan diserahkan langsung kepada Panglima TNI dan KAPOLRI di Swiss-Bell Hotel Jayapura. (Isi surat 13 September 2019).
Jayapura, Senin, 6 Juli 2020
DEWAN GEREJA PAPUA (WPCC)
1. Pendeta Andrikus Mofu, M.Th.
2. Pendeta Dorman Wandikbo, S.Th.
3. Pendeta Dr. Benny Giay.
4. Gembala Dr. Socratez S.Yoman.
*Sumber: Natalius Pigai.