BERITA TERBARUPERISTIWA

Bubarkan Demonstran Dengan Helikopter, Kapolda Sultra Terancam ‘Dicopot’

Foto: Aksi demonstrasi mengenang setahun wafatnya Randi dan Yusuf Kardawi.

BintangEmpat.Com, Sulawesi Tenggara – Aksi demonstrasi mengenang setahun wafatnya Randi dan Yusuf Kardawi atau dikenal dengan aksi September Berdarah (Sedarah) di Depan Polda Sulawesi Tenggara (Sultra), Sabtu (26/9/2020), berujung bentrok.

Aksi yang dilakukan ratusan mahasiswa dari berbagai kampus di Kota Kendari itu awalnya berlangsung damai. Namun, tiba-tiba aksi memanas.

Saat aksi berlangsung, sebuah Helikopter milik Polda Sultra tiba-tiba datang dan terbang rendah pas di atas para demonstran. Praktis, para demonstran langsung berhamburan.

Pasca penggunaan helikopter untuk membubarkan massa, Polda Sultra mengklaim bahwa penerbangan heli itu tanpa izin, dan bukan perintah Kapolda.

Kepada wartawan, Kabid Humas Polda Sultra Kombes Pol Ferry Walintukan mengonfirmasi bahwa pilot menerbangkan heli dan bermanufer tanpa izin.

Saat ini, kata Ferry, pilot helikopter tersebut telah menjalani pemeriksaan di Propam. “Pilotnya bermanuver sendiri tanpa izin. Saat ini sedang dalam pemeriksaan (di Bidang Propam),” singkat Ferry.

Foto: Aksi demonstrasi mengenang setahun wafatnya Randi dan Yusuf Kardawi

Operasi penanganan unjuk rasa Polda Sulawesi tenggara terhadap mahasiswa di Mapolda Bumi Anoa dengan menggunakan helikopter terkait refleksi tragedi 26 september 2019 yang menewaskan dua orang menuai kecaman dari beberapa elemen masyarakat. Terutama kecaman hadir dari elemen, Gerakan Pemuda Marhaenis (GPM), dan Aliansi Mahasiswa Sedarah.

Kecaman atas penggunaan helikopter yang digelar Polda Sultra terhadap masa aksi demonstrasi membahayakan keselamatan orang yang berada disekitar. La Ode Abdul Rajab, Ketua DPD GPM Sultra, mengatakan aparat keamanan bersikap berlebihan pada kejadian tersebut.

“Over action. Penggunaan helikopter yang terbang rendah dalam penangan masa aksi terkesan Polisi menginginkan jatuhnya korban jiwa yang lebih banyak lagi. Bayangkan, siang itu angin berhembus kencang sehingga ini membahayakan stabilitas helikopter di udara. Apalagi disekitar kejadian banyak pohon yang kemudian jika baling-balingnya mengenai ranting pohon bisa terjadi kecelakaan yang akibatkan helikopter terjatuh dan kemungkinan meledak. Bayangkan berapa korban jiwa yang akan meninggal?” kata Rajab kepada media (29/9/2020).

Pernyataan Kapolda yang terkonfirmasi pada media online yang menyangkal mengetahui penggunaan helikopter pada penanganan aksi tersebut dinilai janggal. Menelisik Peraturan Direktur Kepolisian Udara Baharkam Polri Nomor 56 Tahun 2014 tentang Penggunaan unsur Operasional Kepolisian Udara, Dalam Pasal 5 penanggung jawab unsur pelaksanaan tugas di Bawah Kendali Operasi (BKO) tingkat Polda berada di bawah Kepala Kepolisian Daerah (Kapolda) langsung.

“Dalam Pasal 7 disebutkan bahwa kegiatan operasional penerbangan di Polda seperti dalam tugas kegiatan operasional penerbangan, harus dan atas izin Kapolda melalui Kepala Biro Operasional. Jangan bersandiwara bung”, cetus Rajab.

Hal senada disampaikan oleh Aksaruddin, Wakil Ketua Bidang Kadernisasi DPD GPM Sultra. Dia mengungkapkan bahwa kejadian tersebut mengabaikan UU Nomor 1 tahun 2009 tentang Penerbangan dan Perkapolri Nomor 2 tahun 2019 tentang Penindakan Huru-Hara.

“Setiap take off, landing, dan loading operations helikopter yang digunakan wajib memenuhi ketentuan keselamatan dan keamanan penerbangan. Olehnya itu, Kapolda wajib bertanggung jawab atas kebebalan bawahannya”, ungkap Ochyt sapaan akrab Aksaruddin.

Eskalasi sikap represif Polda Sultra menjadi-jadi hingga mengakibatkan korban dari kalangan masyarakat yang sekedar melintas jalan di sekitar tempat kejadian rusuh.

“Bahkan buruh yang baru pulang kerja pun menjadi korban kebrutalan aparat. Beruntung helikopter yang terbang rendah dalam penanganan masa aksi tidak mengenai pepohonan sekitar. Entah, tumbal apalagi yang hendak direnggut oleh mereka?” ujarnya.

Terkait kejadian tersebut, GPM Sultra mendesak agar Kapolri menyikapi profesionalitas Brigjen Pol. Yan Sultra sebagai Kapolda Sulawesi Tenggara.

“Kapolri harus mencopot Kapolda Sultra sebab kinerjanya sangat memperihatinkan. Pertama, tidak mampu menyelesaikan pengusutan kasus Randy dan Yusuf. Kedua, sikap represif Aparat terhadap masa aksi semakin menggila. Ketiga, penggunaan helikopter dalam penanganan masa aksi menyalahi protap”, tegasnya.

Senada yang disampaikan Aliansi Mahasiswa Sedarah (AMS) melalui kordinatornya Rahman Paramai menegaskan agar Kapolri mengevaluasi kelayakan Bapak Yan Sultra sebagai pimpinan tertinggi polisi di Bumi Anoa.

“Segera copot Kapolda yang hanya mampu menghabiskan uang rakyat tapi tidak mampu menyelesaikan kasus penembakan Randy dan Yusuf. Avtur sebagai bahan bakar helikopter itu dibiayai pake pajak yang dipungut dari rakyat”, ujarnya.

Perlu diketahui, dalam opersionalnya helikopter jenis NBO 105 milik Polda Sultra menghabiskan avtur sekitar 100 hingga 300 liter dalam setiap jam terbang. Adapun harga avtur sekarang ini dikisaran Rp10.000 per liternya. *Agus (Kabiro Sultra)